About
History
Di Indonesia, orkestra sudah muncul sejak abad 18 pada masa Hindia Belanda. Kemudian dibentuk Batavian Staff Orchestra (BSO) pada tahun 1804 oleh konduktor Belanda bernama Nico J. Gerharz, yang aktif melakukan pertunjukan dan tur di beberapa kota di pulau Jawa. Di Batavia pertunjukan biasanya diadakan di De Schouwburg van Batavia (sekarang Gedung Kesenian Jakarta).

Pada tahun 1912 didirikanlah orkestra amatir yang dinamakan Bataviasche Philharmonic Orchestra, yang selanjutnya menjadi NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij – Maskapai Penyiaran Radio Hindia Belanda) Orchestra pada tahun 1934.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Belanda masih tetap menduduki Indonesia hingga pengakuan secara de facto pada tahun 1949 (melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag).

Pada tahun 1947 pemerintah Belanda menunjuk Yvon Baarspul untuk membantu pengembangan orkestra di Hindia Belanda. Di bawah pimpinan Baarspul pada tahun 1948 NIROM menjadi orkestra penuh beranggotakan 63 orang, dengan musisi campuran dari Indonesia dan Belanda, dan berganti nama menjadi Radio Philharmonisch Orkest (RPO) atau dalam bahasa Indonesianya Orkes Radio Djakarta (ORD), dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai pembinanya.
Pada tanggal 30 Agustus 1948 diadakan konser inagurasi di Garden Hall (sekarang Taman Ismail Marzuki, Cikini) dan dipenuhi oleh 1000 orang penonton.

Hingga tahun 1950 ORD berkembang dengan pesat hingga menjadi salah satu orkes terbesar di Asia pada waktu itu. Para anggota baru berkebangsaan Indonesia mulai bergabung, ada banyak konser yang diadakan dan disiarkan ke seluruh Indonesia.
Selain ORD ada orkes lain, yaitu: Orkes Studio Djakarta (OSD) yang memainkan musik-musik “hiburan” (sekarang disebut “pop”) dibawah pimpinan Syaiful Bahri, dan Cosmopolitan Orchestra dibawah pimpinan Jos Cleber.
Momen bersejarah terjadi ketika pada tahun 1950 RRI Jakarta dikembalikan ke Indonesia oleh Belanda. Pada saat itu Jos Cleber dari Cosmopolitan Orchestra diminta untuk mengaransemen dan mengorkestrasi lagu Indonesia Raya, kemudian direkam oleh gabungan 3 orkestra saat itu, yaitu Cosmopolitan Orchestra, Orkes Studio Djakarta dan Orkes Radio Djakarta. Orkestrasi ini menjadi orkestrasi resmi Indonesia Raya hingga sekarang, dan tidak boleh diganti.
Kemudian Orkes Radio Djakarta dipimpin oleh Henk Te Strake hingga tahun 1953, di mana selain mengadakan repertoire klasik, dia juga mengaransemen lagu nasional seperti Bagimu Negeri dan Hymne Kemerdekaan.

Pada tahun 1956 Liem Kek-Tjiang, seorang keturunan Tionghoa Indonesia kelahiran Banjarmasin, violis Indonesia pertama lulusan Conservatorium van Amsterdam, ditunjuk menjadi Musical Director dan Conductor Orkes Radio Djakarta hingga tahun 1958. Pada tahun 1959 Liem Kek-Tjiang hijrah ke Tiongkok, kemudian pindah ke Hong Kong, dan turut merintis Hong Kong Philharmonic Orchestra.

Orchestra Radio Djakarta kemudian dipimpin oleh Adidharma Widjaja (Lee Eng Liong) pada tahun 1961 hingga 1985. Ia menempuh pendidikan di Conservatorium van Amsterdam pada Tahun 1951 hingga lulus cum laude pada tahun 1955, lalu melanjutkan ke Julliard Music School, New York.
Pada tahun 1968, Orkes Radio Djakarta dilebur dengan Orkes Studio Djakarta menjadi Orkes Simfoni Jakarta (OSJ) dan dikelola secara serius dan profesional oleh RRI dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta atas prakarsa gubernur DKI masa itu; Ali Sadikin. Ali Sadikin berkata,“Aku tidak mengerti musik, tapi harus ada orkestra terkenal di ibukota sebuah negara, dan orang luar negeri yang akan mensponsorinya!”, sehingga OSJ menjadi orkestra resmi Jakarta, dan mengisi acara rutin 3 bulan sekali di Taman Ismail Marzuki dan seminggu sekali di studio 5 RRI, dengan konduktor Adidharma.

Pada masa itu OSJ mengalami masa keemasan dengan para pemain profesional lulusan Sekolah Musik Indonesia (SMIND Yogyakarta) dan para pemain “peninggalan” jaman Belanda serta musisi dari Rusia yang meninggalkan negaranya karena Revolusi Oktober, di antaranya: Nicolai Varvolomejeff.
Varvolomejeff merupakan salah satu pionir pendiri Sekolah Musik Indonesia (SMIND) di Yogyakarta, tempat di mana nama-nama seperti Idris Sardi, Slamet Abdul Sjukur, FX Soetopo, Suka Hardjana, Amir Katamsi dan Yudianto Hinupurwadi pernah menimba ilmu.

OSJ kemudian sempat dipimpin oleh Praharyawan Prabowo pada tahun 1985 hingga 1986

Setelah Ali Sadikin tidak menjabat Gubernur DKI Jakarta, minat terhadap orkes simfoni menjadi berkurang, sampai saat OSJ mendapat perhatian dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Fuad Hassan dan gubernur Soerjadi Soedirdja.
Kemudian pada tahun 1986 Praharyawan Prabowo digantikan oleh Yudianto Hinupurwadi. Yudianto Hinupurwadi yang tadinya bermukim di Belanda, setelah menyelesaikan studi di Royal Dutch Conservatory for Music di Den Haag, Belanda, akhirnya kembali ke tanah air menjadi konduktor Orkes Simfoni Jakarta.
Kemudian pada tahun 1999, Orkes Simfoni Jakarta di re-brand menjadi Jakarta Philharmonic Orchestra dan menjalani swastanisasi, dengan Neneng Rahardja sebagai pimpinan hingga sekarang.

Pada awal 2020, Aminoto Kosin menjadi music director dan konduktor menggantikan almarhum Yudianto Hinupurwadi.
Aminoto Kosin yang menempuh pendidikan di Berklee College of Music, Boston, Amerika Serikat di bidang komposisi musik, dikenal di tanah air sebagai musisi, yang di awal karirnya bergabung dengan band “Karimata”, dan menjadi produser para seniman Indonesia seperti Ruth Sahanaya, Glenn Fredly, Tohpati, Andre Hehanussa, Vina Panduwinata, dan banyak lagi.
Aminoto juga sering mengadakan konser orkestra sebagai arranger, komposer dan konduktor di Indonesia dan mancanegara.
